Tren Hijrah yang Banyak Dipersoalkan Umat

Tren hijrah hari ini, menurut irit saya, sudah mendahului makna yang sesungguhnya. Ia laksana gerakan baru dalam beragama.

Boleh jadi, tren hijrah yang terjadi di beberapa umat Islam Indonesia ketika ini sudah memberi warna baru untuk gerakan Islam post-modernisme. Gerakan hijrah ini bukan khas terjadi di ranah pemikiran keislaman atau keagamaan. Akan namun lebih pada tren kebiasaan pop perkotaan yang mencampur antara tren keagamaan dan model baru pakaian Muslim serta gaya hidup. Di satu sisi, tren hijrah menghasilkan corak baru dalam beragama yang non-kultural. Sementara di sisi lain, terdapat semacam nilai komoditas yang diproduksi berhubungan dengan kebiasaan pop laksana pakaian yang secara imajiner dirasakan ‘Islami’.

Bahkan, baru-baru ini terdapat iklan di sejumlah televisi swasta, yang isi pelajaran iklan tersebut sehubungan dengan pasta gigi yang di antara bahan materialnya tercipta dari kayu siwak yang dulu juga digunakan oleh Rasulullah guna menggosok gigi. Di unsur akhir iklan itu, muncul ucapan-ucapan “hijrah”, yang lagi-lagi, secara imajiner dikaitkan dengan kegiatan keagamaan dan mengiring opini publik guna ikut serta dalam gerakan hijrah itu. Sebab, aktor iklannya pun orang-orang yang sudah ‘hijrah’, yang barangkali sebelumnya paling jauh dari nilai-nilai agama.



Model iklan di atas hanyalah misal kecil, alangkah tren hijrah ini menjadi semacam nilai komoditas baru yang membawa-bawa agama ke ranah ekonomi kapital. Padahal, tak terdapat sangkut-pautnya antara pasta gigi dan tren hijrah, namun ia seolah-olah mempunyai nilai baru yang diciptakan. Supaya orang berduyun-duyun menjadikan perkara hijrah ini menjadi tren Islami, yang selanjutnya menjadi kebiasaan paten Islam. Akhirnya, Islam menjadi terkesan receh, di mana tren keagamaan saja sangat gampang menghasilkan nilai komoditas baru untuk kapitalis, yang pada gilirannya agama disalahgunakan.

Di samping itu, tren hijrah yang terjadi ketika ini, terutama di kalangan artis, sebetulnya telah membongkar makna hijrah yang sesungguhnya. Mereka tidak memperluas arti hijrah tetapi malah makin mempersempit. Sebab, terdapat anggapan bahwa seseorang tidak bakal menjadi lumayan Islami sebelum ia kesudahannya berhijrah. Jelas, anggapan semacam ini tak lebih dari tipudaya dan tidak didasari oleh cara beranggapan yang benar.

Dulu, hijrah bermakna pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, yang di lokasi semula merasakan tekanan, intimidasi, dan bahaya yang terus mengancam. Dalam permasalahan warga Makah di masa Rasulullah, umat Islam merasakan tekanan yang spektakuler padahal mereka paling cinta dengan tanah airnya, namun apa boleh buat, penyelesaian terbaiknya ialah hijrah. Dalam definisi inilah seseorang bisa disebut hijrah, yakni beralih dari satu lokasi ke lokasi yang baru atas dasar desakan dan tidak memungkinkan untuk menggelar hidupnya di sana.


Hijrah dalam definisi di atas dengan kata lain berpindah secara fisik, namun agaknya bertolak belakang dengan istilah transmigrasi sebagaimana umum terjadi di Indonesia, yang terakhir ini lebih pada eksodus dari wilayah yang padat warga ke wilayah yang jarang, hijrah sendiri tidak bakal terjadi tanpa ada desakan dari dalam.

Seiring berjalannya waktu, arti hijrah merasakan perluasan makna, ini terjadi di Indonesia selama tahun 1980-an. Hijrah di tahun-tahun tersebut dimaknai beralih dari perilaku buruk ke perilaku yang baik, dengan kata lain hijrah berarti pindah secara moralitas tingkah laku. Tetapi hijrah model ini tidak terlampau populer, karena perilaku moral seseorang biasanya tidak bisa diprediksi, ia sifatnya cair, yang bila dikaitkan dengan toleransi agama, sikap hijrah ini kadang berbelok-belok.

Di tahun 2000-an sampai hari ini, arti hijrah sudah sebegitu berubah seakan mempunyai makna yang setara dengan orang yang baru saja beralih agama. Tentu bila sekadar arti masih dapat diperdebatkan. Tetapi bila ia sudah menjadi tren baru, maka bakal membudaya dan menjadi warna baru untuk corak berkeislaman seseorang. Sebuah tren budaya barangkali akan memungut bentuknya dari misal yang diserahkan oleh masa lalu, namun tren kebiasaan juga dapat sama sekali baru dan dapat juga berlawanan dengan yang semestinya.

Ini tidak berarti bahwa tren hijrah berlawanan dengan kaidah agama. Sebab, agama itu luwes dan dinamis, bila mencantol urusan agama seringkali dikembalikan ke pribadi masing-masing. Orang tidak dapat saling menyalahkan melulu karena berbeda, namun seseorang tidaklah dibolehkan bila mengorbankan akidah melulu demi toleransi semata, begitupun sebaliknya.

Tren hijrah hari ini, menurut irit saya, sudah mendahului makna yang sesungguhnya. Ia laksana gerakan baru dalam beragama yang menggiring semua pelakunya untuk mengawal jarak dengan corak keberislaman yang umum sekitar ini. Saya tidak mau menuliskan bahwa umat Islam terpecah-pecah menjadi sekian banyak  golongan, karena orang-orang yang menjadi unsur dari arus tren hijrah ini biasanya tidak jelas latas golongannya.

Sebab, sekadar berislam saja tidaklah cukup, seorang umat butuh membingkai keyakinanannya dengan struktur keagamaan yang telah terlanjur ada ketika ini. Misalnya terdapat Sunni, Syi’ah, Ahmadiyah, Wahabi, dll, yang satu sama beda dalam hal-hal tertentu menegaskan berbeda. Meski lazimnya tidak saling menyalahkan, namun saling menghargai cocok dengan pemahaman keagamaan yang hingga kepadanya. Dan pastinya saja, perbedaan tersebut sudah menjadi unsur dari fitrah insan yang perlu dipertahankan selama tidak terdapat gesekan-gesekan.


Sebagai gerakan baru, tren ini dapat disebut sebagai gerakan post-hijrah (isme). Sebab, ia sebenarnya mengambil format baru yang tidak ditemukan misalnya di masa lalu. Istilah ‘isme’ yang sengaja saya sisihkan dalam tanda kurung, menjadi penanda bahwa mereka tidak sungguh-sungguh hijrah dalam definisi yang umum dipahami. Akan namun lebih pada corak keagamaan model baru yang malah masing diperdebatkan oleh tidak sedikit kalangan, terutama mengenai apakah teknik berislam mereka bisa diverifikasi kebenarannya? Dalam arti, cocok Alqurankah, haditskah, kemudian bagaimana bila merujuk pada khazanah Islam dan keulamaan pada masa lalu? Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali belum terjawab secara tuntas.

Hal yang untuk saya sangat gampang kelihatan dalam tren post-hijrah (isme) ini ialah seakan-akan orang yang sedang di dalamnya merasakan fase eksodus agama dan membabat berakhir masa lalunya yang seakan tidak Islami. Misalnya dari sisi moral, pun pemahaman agamanya secara mendasar seperti akidah, atau soal berpakaian, merawat jenggot, model celana agak pendek di atas mata kaki, bergamis, hijab longgar, dan pasti saja gaya hidup yang ingin berubah. Padahal, hal-hal di samping soal moral dan akidah hanyalah perkara kebiasaan semata, yang seakan dipaksakan menjadi ‘Islami’.

Bagi saya, corak berislam laksana ini seperti membina ideologi baru dalam agama yang sengaja mengaburkan permasalahan antara yang sakral dan yang profan. Antara mana yang Islam dan yang bukan, dan barangkali yang belum hijrah dirasakan tidak lumayan Islami bila dinamakan sebagai umat Muslim. Tetapi akhirnya, tidak terdapat ruang untuk kita guna saling menyalahkan dan memandang diri anda yang sangat benar, karena agama adalahhak prerogatif Tuhan dan Dia-lah yang berhak menyimpulkan mana yang benar dan yang salah.