Menyoal Fenomena Hijrah

Hijrah juga perlu ilmu sebagai penguat kepercayaan dan tetap istikamah pada opsi yang benar. Hijrah jasmani dan nonfisik, dua-duanya dibutuhkan.

Kata hijrah dewasa ini telah semakin tak asing di ranah publik. Malah, telah menjadi identitas untuk kelompok tertentu yang menamakan pekerjaan pengajiannya dengan istilah demikian.

Apapun itu, gejala ini unik untuk dikaji. Mungkin terdapat yang terbetik dalam benaknya, apa pemicu hijrah dan sejauh mana relevansinya dengan hijrah pada zaman Nabi beserta statemen beliau berhubungan hijrah?

Sebelum ke arah itu, terdapat baiknya diajukan secara singkat tentang pengertian hijrah inilah sejarahnya. Berdasarkan keterangan dari bahasa, hijrah dengan kata lain pindah atau meninggalkan. Dengan demikian ada sebuah pergerakan atau transformasi dalam kata hijrah.





Al-Jurjani dalam bukunya berjudul “al-Ta’riifaat” (1983: 256), mendefinisikan hijrah sebagai berikut, “Meninggalkan negeri kafir mengarah ke negeri Islam.” Pengertian ini mengindikasikan perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lain yang lebih baik.

Hijrah dalam hadits ada pun yang bermakna bukan eksodus fisik, tapi evolusi dari situasi yang buruk menjadi lebih baik.


Misalnya:

????????????? ???? ?????? ??? ????? ??????? ??????

“Orang yang berhijrah ialah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Ibnu Majah, terdapat tambahan, “(yaitu) orang yang menjauhi kekeliruan dan dosa.”

Hijrah pada masa Nabi merangkum keduanya. Pada masa-masa di Makkah, umat Islam terlebih dulu hijrah dari suasana jahiliyah mengarah ke Islam. Sedangkan hijrah dari definisi fisik, minimal ada sejumlah upaya: Hijrah Habasyah I dan II, Thaif dan hingga akhirnya ke Madinah Al-Munawwarah.

Saat itu, pemicu hijrah ialah lingkungan yang tak kondusif. Dakwah dihambat pergerakannya. Umat Islam ditekan sampai tak jarang yang menemukan siksaan. Sementara itu, situasi umat Islam saat tersebut masih lemah.

Atas perintah Allah, dilakukanlah upaya hijrah demi keberlangsungan roda dakwah yang digulirkan Rasulullah. Al-hamdulillah, pada puncaknya hijrah ke Madinah sebagai titik tolak mengarah ke perubahan-perubahan dahsyat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Tidak berlebih-lebihan saat peristiwa monumental ini dijadikan sebagai nama dari penanggalan Islam oleh Umar bin Khattab Ra. Seakan-akan dengan dipilihnya hijrah ini, umat Islam dapat mengenang dan tetap berupaya hijrah dari yang negatif mengarah ke positif.

Sayangnya, di kalangan umat Islam, tidak begitu perhatian dengan penanggalan hijriah Islam. Penanggalan Hijriah hanya tak asing jika terdapat acara hari raya besar Islam, atau bulan Ramadan.

Di Indonesia, terutama dewasa ini, merebaknya gejala hijrah patut disyukuri. Paling tidak terdapat kesadaran umat untuk pulang menjadi lebih baik. Pemicunya juga banyak, misalnya: kegersangan spiritual, kesalehan muslim urban, dakwah semua dai di era digital yang makin gencar, serta hal beda yang dapat diteliti lebih dalam.

Hanya saja, yang lebih urgen dari tersebut semua ialah tren hijrah tidak boleh sampai pada tataran yang formalistik simbolik dan sempit. Hijrah misalnya tidak boleh sampai melulu dimaknai eksodus dari yang sebelumnya tak berjilbab lantas berhijab bahkan bercadar.

Atau yang sebelumnya pakaiannya tak syar’i tiba-tiba berubah menyeluruh menjadi syar’i. Sekali lagi, berubahan pada tataran tersebut baik-baik saja, namun bukan hingga di situ, namun terus berkembang lebih baik lagi.

Artinya, hijrah tidak lumayan hanya secara lahir, tapi pun batin. Dan memang itu perlu proses. Kalau diacuhkan hijrahnya semua sahabat (baik dalam pengertian jasmani maupun nonfisik) itu dilaksanakan secara bertahap.

Saat di Makkah yang dirubah terlebih dahulu ialah keimanan dan akhlak. Syariat laksana kerudung misalnya malah datang belakangan. Namun, sebab proses yang dijalani telah mantap, motifnya pun lillah, maka saat menerima syariat mereka telah siap.

Orang yang hijrah namun belum paham subtansinya, tak dilaksanakan secara bertahap, tak didukung dengan komunitas yang baik, bahkan melulu karena motif keduniaan seperti orang di masa Nabi yang hijrah karena hendak menikah dengan Ummu Qais misalnya, seringkali tak dilangsungkan lama.

Betapa tidak sedikit yang salah kaprah dengan hijrah, yang pada kesudahannya membuatnya pulang pada suasana semula atau tidak berhasil  hijrah. Itu artinya, hijrah perlu ilmu, pemahaman yang benar, tahapan-tahapan, lingkungan yang mendukung, Dengan menyimak itu, insya Allah gejala hijrah menjadi urusan positif dan butuh didukung. (Aza)