Bagaimana Rasanya Jadi Muslimah Tanpa Jilbab di Indonesia Masa Kini
Bagaimana Rasanya Jadi Muslimah Tanpa Jilbab di Indonesia Masa Kini
Wacana jilbab di Indonesia tidak pernah lepas dari situasi sosial dan politik yang menyusun model konsumsi atau pemakaian jilbab di kalangan wanita muslim. Maka wajar andai pada satu era jumlah pemakainya tidak banyak tapi di masa yang beda terlihat membludak.
Berdasarkan keterangan dari penelusuran historis Tirto, menurut dokumentasi foto lawas, wanita muslim di Indonesia tidak tidak sedikit yang menggunakan jilbab pada akhir abad ke-19. Pengecualiannya terdapat pada sebanyak tokoh organisasi Islam. Dua diantaranya merupakan Nyai Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said.
Kondisi serupa terlihat sampai jelang dan pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Jilbab seringkali dikenakan oleh anggota organisasi Islam. Memasuki periode 1980-an, pemakaian jilbab mulai marak sampai hadir wacana mengasingkan siswi berjilbab dan yang tidak di sekolah-sekolah negeri.
Beberapa pihak menolak kepandaian tersebut. Contohnya siswi-siswi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Di tengah kian mengentalnya perdebatan jilbab, pemerintah Orde Baru merasa butuh turun tangan.
Pada 17 Maret 1982 Dirjen Pendidikan dan Menengah (Dikdasmen) menerbitkan aturan pelarangan jilbab di sekolah negeri. Aturan ini ditarik keluar pada 1991, atau masa di mana rezim Orba mulai mendekati ormas-ormas Islam guna kepentingan politis.
Pelarangan jilbab dibicarakan oleh sosiolog Monash University Australia, Ariel Heryanto, dalam kitab Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (2015).
Ia menulis pada 1980-an beberapa pemakai jilbab ialah aktivis dakwah yang memandang opsi fesyennya sebagai penegasan sikap politik (Islam). Beranjak ke 1990-an, pakaian berjilbab mulai menjadi tren mode. Perubahan besar terjadi pada masa reformasi, saat jumlah pemakai jilbab bertambah secara signifikan.
Dua dasawarsa pasca tumbangnya Orba, norma berbusana untuk perempuan muslim di ruang publik dikuasai narasi mesti berjilbab. Setidaknya demikian testimoni responden Tirto, Dias Saputri dan Nurina Jihan Yulianti.
Keduanya ialah perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab, dan sekarang merasa sebagai minoritas salah satu perempuan muslim lain. Pengalaman-pengalaman khas juga muncul. Contohnya, karena tidak mengenakan busana muslimah cocok kelaziman, mereka tidak jarang dikira sebagai non-muslim.
“Terutama di lingkungan baru. Di mula kuliah pernah ikut kerja kumpulan seharian. Aku izin salat, kemudian ada yang kaget, ‘lho, anda salat, Put?’,”kata Putri seraya tertawa, Rabu (19/6/2019).
Putri lahir, besar, dan belajar hingga perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia alumnus Universitas Gadjah Mada. Pada ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata empiris dikira non-muslim hadir kembali. Kebetulan pada saat tersebut bulan puasa. Lokasinya di suatu wilayah beberapa besar muslim.
“Aku agak vokal guna meminta ketersediaan makanan bikin teman-teman satu kumpulan yang non-muslim. Salah satu yang belum terlampau kenal tanya apa aku puasa. Dikira aku bicara mewakili rekan non-muslim lain,” kata wanita yang sekarang berprofesi sebagai jurnalis itu.
Jihan bekerja sebagai perawat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. Ia meneliti seluruh karyawan wanita muslim mengenakan jilbab. Untuk yang tidak mengenakan tentu non-muslim. Hingga dua bulan bekerja, ia belum mengejar yang laksana dirinya: muslimah tanpa jilbab.
Pengalaman dikira non-muslim Jihan katakan sering, terutama ketika dulu ia bekerja guna lembaga survei sampai-sampai sering bertemu orang baru. Demikian pun di lokasi tinggal sakit, di mana sejumlah koleganya kaget kala Jihan izin mau mengemban salat.
“Kadang bukan sebab aku tidak berjilbab saja, namun secara jasmani aku dikira orang chinese, mata sipit. Atau luar Jawa, dari wilayah Timur. Nah mereka menduga orang chinese atau luar Jawa tersebut non-muslim, sedangkan dari Jawa mayoritas muslim,” katanya melewati sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).
Perasaan sebagai minoritas tidak terlampau Putri rasakan ketika berada di ruang publik, melainkan saat salat di masjid, khususnya yang menjadi basis komunitas muslim konservatif.
Berulangkali ia dipelototi pengunjung masjid lain, dari atas hingga bawah. Muka mereka menampakkan rasa heran kenapa seorang wanita tanpa jilbab, yang wajahnya telah basah oleh air wudhu, sedang bersiap-siap mengenakan mukena.
Putri tidak jarang kali berpikiran positif bahwa mungkin di masyarakat selama masjid mengartikan jilbab sebagai keharusan yang tidak dapat ditawar untuk wanita muslim. Meski demikian pengalaman-pengalaman tersebut membuatnya guna memilih salat di rumah—kecuali saat situasi tertentu.
Pada sebuah sore, misalnya, ia diantar pacar mampir ke masjid. Putri sempat protes, namun pada saat tersebut waktu menunjukkan nyaris masuk jam salat Isya, sedangkan ia dan pacarnya sedang dalam perjalanan dan belum sempat salat Mahrib.
“Bener, diliatin lagi. Haha.. Bikin gak nyaman. Tapi aku cuma dapat cuek, dan memindahkan pandangan.”
Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, Amika Wardhana, menjelaskan wacana jilbab dapat didedah menggunakan kajian tubuh dan agama. Masyarakat yang berbasis nilai-nilai keagamaan menata tubuh pribadi mengenai mana yang boleh digunakan dan yang tidak. Dalam Islam, katanya, ini soal halal-haram.
Khusus tentang naiknya tren pemakaian jilbab pada era kekinian, ia melacak akarnya berasal dari booming jumlah penduduk ruang belajar menengah. Warga ruang belajar menengah dicirikan terdidik serta mapan secara ekonomi. Mereka anak kandung modernisasi yang di sekian banyak negara menampakkan ciri sekular.
“Tapi ruang belajar menengah anda berbeda. Mereka tidak menjadi sekuler. Mereka malah makin religius karena pada masa pasca-Orde Baru gelombang Islamisasi pun menguat,” kata akademisi pengkaji gerakan Islam di Indonesia itu, melewati sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).
Amika turut memandang tren jilbab teori irisan agama dan ekonomi (economic-religion). Teori ini menginginkan tradisi keagamaan sebagai sesuatu yang tidak monoton. Situasinya bertolak belakang dengan yang terjadi di masyarakat otoriter berbasis hukum syariat laksana di Iran maupun Arab Saudi.
“Di Indonesia lebih dinamis. Kita tidak punya kepandaian seragam tentang jilbab, Masing-masing pihak ‘menjual’ perspektifnya, tafsirnya, melalui sekian banyak medium dan ekspresi. Maka lahir tidak sedikit jenis jilbab yang menjadi mode tren. Dari yang bermotif syar’i hingga yang menitikberatkan pada tampilan fesyen.”
Ariel Heryanto berselaras pendapat. Ia mengaku bahwa di Indonesia, sebagaimana di sekian banyak tempat lain, “tak tampak bentuan besar antara kapitalisme dan komitmen terhadap ketakwaan beragama.”
“Keduanya bisa berjalan bersebelahan untuk alasan-alasan bertolak belakang dan terkadang berlawanan satu sama lain,” catatnya, masih dalam kitab Identitas dan Kenikmatan.
Amatan itu terbukti melewati manuver semua pelaku industri busana muslim. Mereka terlihat energik dalam menyambut eskalasi tren jilbab, hingga di titik turut mendorong kian luasnya pemakaian jilbab.
Dalam sejumlah tahun belakangan industri jilbab kian membesar serta meluas. Laporan Tirto sebelumnya menjabarkan bagaimana bisnis jilbab sekarang bukan mainan saudagar pasar, namun dijajaki merek-merek ruang belajar dunia. Model-model berjilbab juga direkrut—sesuatu yang nyaris mustahil pada era terdahulu.
Amika menegaskan semangat dakwah dan bisnis tidak dapat dilepaskan karena “sepanjang sejarah agama tidak jarang kali punya kaitan dengan ekonomi.” Jika Ariel menyebut pemakaian jilbab pada era reformasi sebagai “kepatutan politik” (political correctness), Amika memandangnya sebagai unsur dari kontestasi identitas.
“Khas masyarakat Asia yang menyenangi hal-hal yang seragam, seluruh sama. Maka wajar andai ada segelintir orang yang mengindikasikan perbedaan. Mereka resisten terhadap tren, bahkan sejumlah di antaranya terdapat yang lumayan vokal dalam mengaku sikapnya.”
Saat ditanya mengapa menyimpulkan untuk tidak berjilbab, baik Putri dan Jihan membalas singkat: “Belum ingin”.
Mereka memilih kata “belum” ketimbang “tidak” karena tidak menutup bisa jadi pada suatu ketika rambut mereka bakal mengenakan jilbab. Belum guna sekarang, di umur mereka yang sudah melalui 25. Semua tergantung kesiapan dalam hati, karena mereka memaknai jilbab lebih dari sebatas fesyen.
“Aku menjalankan perintah-perintah dasar dalam Islam, namun kurasa belum secara sempurna. Jadi pingin konsentrasi ke arah situ dulu. Pondasinya dulu dikuatin, baru soal jilbab. Sebab Jilbab bukan sebatas pakaian, namun ada nilai-nilai yang melekat. Ada beban takwa yang harus dijalankan secara konsisten,” jelas Putri.
Keluarga Putri tidak bawel soal pakaian. Selama ini mereka menekankan edukasi agama pada substansi, yakni bagaimana anak-anak berlaku baik pada orang, pada makhluk hidup, pun pada lingkungan.
Adik-adik Jihan yang wanita telah berjilbab semua. Ayahnya belum lelah mendorong Jihan guna berpakaian yang sama. Satu-dua anggota family besarnya pun demikian. Misal, saat melakukan pembelian barang bersama, di toko pakaian mereka akan menganjurkan Jihan beli baju yang dapat dipakaikan jilbab.
“Selalu kutolak. Belum siap, karena mungkin suatu ketika aku hendak keluar gunakan baju yang tidak dapat berjilbab. Sementara aku, kan, inginnya saat pakai ketika sudah yakin tidak bakal melepasnya ketika keluar. Konsisten.”
Berhadapan dengan orang-orang yang mengingatkan guna berjilbab ialah pengalaman yang diakrabi Putri dan Jihan. Pada dasarnya orang-orang ini tidak dirasakan sebagai gangguan. Tapi dalam sejumlah kasus mereka sempat merasa tidak nyaman, terutama andai pelakunya ialah orang asing atau yang baru kenal.
“Baru kenal, jarang komunikasi, namun bilang wanita tuh mestinya begini begitu. Cowok ada, cewek ada. Ada temannya rekan yang masa-masa dia nganterin aku sepanjang perjalanan kayak ceramah. Ini apa sih, jadi risih, enggak nyaman,” kata Jihan.
Amika mengutip sejumlah penelitian yang mengaku bahwa pemakaian jilbab di Indonesia tidak otomatis menciptakan pelakunya religius.
Alasan seseorang menggunakan jilbab, lanjutnya, dapat karena penegasan identitas sosial, mengekor tren, supaya terlihat cantik, atau sesederhana mengekor perintah otoritas. Otoritas tersebut berwujud macam-macam. Bisa ulama, orang tua, pemerintah, dan beda sebagainya.
“Ini soal lifestyle, dan di Indonesia sulit untuk memisahkan mana yang religius mana yang lifestyle. Selalu terjadi pertarungan tafsir atas jilbab. Juga soal mengartikan kesopanan, yang pada dasarnya mempunyai sifat relatif serta tidak jarang kali berubah sepanjang zaman.”
Baik Putri dan Jihan bersepakat bagaimana jilbab tidak mendefinisikan karakter seseorang—paling tidak tidak secara sepenuhnya.
Bisa diputuskan bahwa pandangan mereka tentang jilbab turut terbentuk dari perilaku semua pemakai jilbab, yang kadang terekspose media sebagai pelaku permasalahan hukum atau pelanggaran norma agama.
“Misal berjilbab tapi, kok, korupsi. Kan, jelas menyusahkan orang lain, ya ironis. Kasus itu buat aku bertanya ke pelaku, sebetulnya sejauh mana sih anda memaknai berjilbabmu, beragamamu, perjalanan spiritualmu?” pungkas Putri.
Wacana jilbab di Indonesia tidak pernah lepas dari situasi sosial dan politik yang menyusun model konsumsi atau pemakaian jilbab di kalangan wanita muslim. Maka wajar andai pada satu era jumlah pemakainya tidak banyak tapi di masa yang beda terlihat membludak.
Berdasarkan keterangan dari penelusuran historis Tirto, menurut dokumentasi foto lawas, wanita muslim di Indonesia tidak tidak sedikit yang menggunakan jilbab pada akhir abad ke-19. Pengecualiannya terdapat pada sebanyak tokoh organisasi Islam. Dua diantaranya merupakan Nyai Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said.
Kondisi serupa terlihat sampai jelang dan pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Jilbab seringkali dikenakan oleh anggota organisasi Islam. Memasuki periode 1980-an, pemakaian jilbab mulai marak sampai hadir wacana mengasingkan siswi berjilbab dan yang tidak di sekolah-sekolah negeri.
Beberapa pihak menolak kepandaian tersebut. Contohnya siswi-siswi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Di tengah kian mengentalnya perdebatan jilbab, pemerintah Orde Baru merasa butuh turun tangan.
Pada 17 Maret 1982 Dirjen Pendidikan dan Menengah (Dikdasmen) menerbitkan aturan pelarangan jilbab di sekolah negeri. Aturan ini ditarik keluar pada 1991, atau masa di mana rezim Orba mulai mendekati ormas-ormas Islam guna kepentingan politis.
Pelarangan jilbab dibicarakan oleh sosiolog Monash University Australia, Ariel Heryanto, dalam kitab Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (2015).
Ia menulis pada 1980-an beberapa pemakai jilbab ialah aktivis dakwah yang memandang opsi fesyennya sebagai penegasan sikap politik (Islam). Beranjak ke 1990-an, pakaian berjilbab mulai menjadi tren mode. Perubahan besar terjadi pada masa reformasi, saat jumlah pemakai jilbab bertambah secara signifikan.
Dua dasawarsa pasca tumbangnya Orba, norma berbusana untuk perempuan muslim di ruang publik dikuasai narasi mesti berjilbab. Setidaknya demikian testimoni responden Tirto, Dias Saputri dan Nurina Jihan Yulianti.
Keduanya ialah perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab, dan sekarang merasa sebagai minoritas salah satu perempuan muslim lain. Pengalaman-pengalaman khas juga muncul. Contohnya, karena tidak mengenakan busana muslimah cocok kelaziman, mereka tidak jarang dikira sebagai non-muslim.
“Terutama di lingkungan baru. Di mula kuliah pernah ikut kerja kumpulan seharian. Aku izin salat, kemudian ada yang kaget, ‘lho, anda salat, Put?’,”kata Putri seraya tertawa, Rabu (19/6/2019).
Putri lahir, besar, dan belajar hingga perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia alumnus Universitas Gadjah Mada. Pada ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata empiris dikira non-muslim hadir kembali. Kebetulan pada saat tersebut bulan puasa. Lokasinya di suatu wilayah beberapa besar muslim.
“Aku agak vokal guna meminta ketersediaan makanan bikin teman-teman satu kumpulan yang non-muslim. Salah satu yang belum terlampau kenal tanya apa aku puasa. Dikira aku bicara mewakili rekan non-muslim lain,” kata wanita yang sekarang berprofesi sebagai jurnalis itu.
Jihan bekerja sebagai perawat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. Ia meneliti seluruh karyawan wanita muslim mengenakan jilbab. Untuk yang tidak mengenakan tentu non-muslim. Hingga dua bulan bekerja, ia belum mengejar yang laksana dirinya: muslimah tanpa jilbab.
Pengalaman dikira non-muslim Jihan katakan sering, terutama ketika dulu ia bekerja guna lembaga survei sampai-sampai sering bertemu orang baru. Demikian pun di lokasi tinggal sakit, di mana sejumlah koleganya kaget kala Jihan izin mau mengemban salat.
“Kadang bukan sebab aku tidak berjilbab saja, namun secara jasmani aku dikira orang chinese, mata sipit. Atau luar Jawa, dari wilayah Timur. Nah mereka menduga orang chinese atau luar Jawa tersebut non-muslim, sedangkan dari Jawa mayoritas muslim,” katanya melewati sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).
Perasaan sebagai minoritas tidak terlampau Putri rasakan ketika berada di ruang publik, melainkan saat salat di masjid, khususnya yang menjadi basis komunitas muslim konservatif.
Berulangkali ia dipelototi pengunjung masjid lain, dari atas hingga bawah. Muka mereka menampakkan rasa heran kenapa seorang wanita tanpa jilbab, yang wajahnya telah basah oleh air wudhu, sedang bersiap-siap mengenakan mukena.
Putri tidak jarang kali berpikiran positif bahwa mungkin di masyarakat selama masjid mengartikan jilbab sebagai keharusan yang tidak dapat ditawar untuk wanita muslim. Meski demikian pengalaman-pengalaman tersebut membuatnya guna memilih salat di rumah—kecuali saat situasi tertentu.
Pada sebuah sore, misalnya, ia diantar pacar mampir ke masjid. Putri sempat protes, namun pada saat tersebut waktu menunjukkan nyaris masuk jam salat Isya, sedangkan ia dan pacarnya sedang dalam perjalanan dan belum sempat salat Mahrib.
“Bener, diliatin lagi. Haha.. Bikin gak nyaman. Tapi aku cuma dapat cuek, dan memindahkan pandangan.”
Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, Amika Wardhana, menjelaskan wacana jilbab dapat didedah menggunakan kajian tubuh dan agama. Masyarakat yang berbasis nilai-nilai keagamaan menata tubuh pribadi mengenai mana yang boleh digunakan dan yang tidak. Dalam Islam, katanya, ini soal halal-haram.
Khusus tentang naiknya tren pemakaian jilbab pada era kekinian, ia melacak akarnya berasal dari booming jumlah penduduk ruang belajar menengah. Warga ruang belajar menengah dicirikan terdidik serta mapan secara ekonomi. Mereka anak kandung modernisasi yang di sekian banyak negara menampakkan ciri sekular.
“Tapi ruang belajar menengah anda berbeda. Mereka tidak menjadi sekuler. Mereka malah makin religius karena pada masa pasca-Orde Baru gelombang Islamisasi pun menguat,” kata akademisi pengkaji gerakan Islam di Indonesia itu, melewati sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).
Amika turut memandang tren jilbab teori irisan agama dan ekonomi (economic-religion). Teori ini menginginkan tradisi keagamaan sebagai sesuatu yang tidak monoton. Situasinya bertolak belakang dengan yang terjadi di masyarakat otoriter berbasis hukum syariat laksana di Iran maupun Arab Saudi.
“Di Indonesia lebih dinamis. Kita tidak punya kepandaian seragam tentang jilbab, Masing-masing pihak ‘menjual’ perspektifnya, tafsirnya, melalui sekian banyak medium dan ekspresi. Maka lahir tidak sedikit jenis jilbab yang menjadi mode tren. Dari yang bermotif syar’i hingga yang menitikberatkan pada tampilan fesyen.”
Ariel Heryanto berselaras pendapat. Ia mengaku bahwa di Indonesia, sebagaimana di sekian banyak tempat lain, “tak tampak bentuan besar antara kapitalisme dan komitmen terhadap ketakwaan beragama.”
“Keduanya bisa berjalan bersebelahan untuk alasan-alasan bertolak belakang dan terkadang berlawanan satu sama lain,” catatnya, masih dalam kitab Identitas dan Kenikmatan.
Amatan itu terbukti melewati manuver semua pelaku industri busana muslim. Mereka terlihat energik dalam menyambut eskalasi tren jilbab, hingga di titik turut mendorong kian luasnya pemakaian jilbab.
Dalam sejumlah tahun belakangan industri jilbab kian membesar serta meluas. Laporan Tirto sebelumnya menjabarkan bagaimana bisnis jilbab sekarang bukan mainan saudagar pasar, namun dijajaki merek-merek ruang belajar dunia. Model-model berjilbab juga direkrut—sesuatu yang nyaris mustahil pada era terdahulu.
Amika menegaskan semangat dakwah dan bisnis tidak dapat dilepaskan karena “sepanjang sejarah agama tidak jarang kali punya kaitan dengan ekonomi.” Jika Ariel menyebut pemakaian jilbab pada era reformasi sebagai “kepatutan politik” (political correctness), Amika memandangnya sebagai unsur dari kontestasi identitas.
“Khas masyarakat Asia yang menyenangi hal-hal yang seragam, seluruh sama. Maka wajar andai ada segelintir orang yang mengindikasikan perbedaan. Mereka resisten terhadap tren, bahkan sejumlah di antaranya terdapat yang lumayan vokal dalam mengaku sikapnya.”
Saat ditanya mengapa menyimpulkan untuk tidak berjilbab, baik Putri dan Jihan membalas singkat: “Belum ingin”.
Mereka memilih kata “belum” ketimbang “tidak” karena tidak menutup bisa jadi pada suatu ketika rambut mereka bakal mengenakan jilbab. Belum guna sekarang, di umur mereka yang sudah melalui 25. Semua tergantung kesiapan dalam hati, karena mereka memaknai jilbab lebih dari sebatas fesyen.
“Aku menjalankan perintah-perintah dasar dalam Islam, namun kurasa belum secara sempurna. Jadi pingin konsentrasi ke arah situ dulu. Pondasinya dulu dikuatin, baru soal jilbab. Sebab Jilbab bukan sebatas pakaian, namun ada nilai-nilai yang melekat. Ada beban takwa yang harus dijalankan secara konsisten,” jelas Putri.
Keluarga Putri tidak bawel soal pakaian. Selama ini mereka menekankan edukasi agama pada substansi, yakni bagaimana anak-anak berlaku baik pada orang, pada makhluk hidup, pun pada lingkungan.
Adik-adik Jihan yang wanita telah berjilbab semua. Ayahnya belum lelah mendorong Jihan guna berpakaian yang sama. Satu-dua anggota family besarnya pun demikian. Misal, saat melakukan pembelian barang bersama, di toko pakaian mereka akan menganjurkan Jihan beli baju yang dapat dipakaikan jilbab.
“Selalu kutolak. Belum siap, karena mungkin suatu ketika aku hendak keluar gunakan baju yang tidak dapat berjilbab. Sementara aku, kan, inginnya saat pakai ketika sudah yakin tidak bakal melepasnya ketika keluar. Konsisten.”
Berhadapan dengan orang-orang yang mengingatkan guna berjilbab ialah pengalaman yang diakrabi Putri dan Jihan. Pada dasarnya orang-orang ini tidak dirasakan sebagai gangguan. Tapi dalam sejumlah kasus mereka sempat merasa tidak nyaman, terutama andai pelakunya ialah orang asing atau yang baru kenal.
“Baru kenal, jarang komunikasi, namun bilang wanita tuh mestinya begini begitu. Cowok ada, cewek ada. Ada temannya rekan yang masa-masa dia nganterin aku sepanjang perjalanan kayak ceramah. Ini apa sih, jadi risih, enggak nyaman,” kata Jihan.
Amika mengutip sejumlah penelitian yang mengaku bahwa pemakaian jilbab di Indonesia tidak otomatis menciptakan pelakunya religius.
Alasan seseorang menggunakan jilbab, lanjutnya, dapat karena penegasan identitas sosial, mengekor tren, supaya terlihat cantik, atau sesederhana mengekor perintah otoritas. Otoritas tersebut berwujud macam-macam. Bisa ulama, orang tua, pemerintah, dan beda sebagainya.
“Ini soal lifestyle, dan di Indonesia sulit untuk memisahkan mana yang religius mana yang lifestyle. Selalu terjadi pertarungan tafsir atas jilbab. Juga soal mengartikan kesopanan, yang pada dasarnya mempunyai sifat relatif serta tidak jarang kali berubah sepanjang zaman.”
Baik Putri dan Jihan bersepakat bagaimana jilbab tidak mendefinisikan karakter seseorang—paling tidak tidak secara sepenuhnya.
Bisa diputuskan bahwa pandangan mereka tentang jilbab turut terbentuk dari perilaku semua pemakai jilbab, yang kadang terekspose media sebagai pelaku permasalahan hukum atau pelanggaran norma agama.
“Misal berjilbab tapi, kok, korupsi. Kan, jelas menyusahkan orang lain, ya ironis. Kasus itu buat aku bertanya ke pelaku, sebetulnya sejauh mana sih anda memaknai berjilbabmu, beragamamu, perjalanan spiritualmu?” pungkas Putri.
0 Komentar