Apakah Itu Toleransi Beragama?
Lakukan Dengan Cara Saya Atau Tidak Sama Sekali - Apakah Itu Toleransi Beragama?
Ada saat-saat saat saya merasa hendak menertawakan bertambahnya intoleransi agama di Inggris, namun ini terlampau serius guna ditertawakan. Jika Anda beranggapan bahwa tidak terdapat intoleransi agama di unsur dunia ini, baca saja korannya.
Insiden terbaru ialah tentang seorang perempuan Muslim yang tidak diperbolehkan menghadiri malam orang tua di sekolah Katolik putranya sebab dia mengenakan kerudung niqab wajah penuh.
Aturan sekolah mewajibkan penghapusan helm kecelakaan, hoodies dan kerudung semua wajah. Aturan mula diubah untuk merangkum kerudung semua wajah, sebab sekolah menyadari bahwa perempuan itu ialah orang tua dan mereka hendak mencegah insiden laksana ini sesudah insiden kesatu dua tahun kemudian dengan perempuan yang sama.
Wanita tersebut sadar bakal aturan yang diamandemen, namun tetap menyimpulkan untuk mengenakan cadar.
Siapa yang benar dan siapa yang salah di sini? Mari anda mundur selangkah dan mengajukan sekian banyak pertanyaan.
Apa yang ingin dijangkau wanita tersebut dengan mengenakan cadar ketika dia tahu sekolah bakal keberatan? Di permukaan dia melulu ingin mendiskusikan peradaban anaknya dengan semua guru, dan seharusnya tidak masalah bagaimana dia berpakaian saat ini ialah tujuannya.
Namun, pada ketika yang sama wanita tersebut mungkin hendak orang-orang menyimak kerudungnya dan memamerkan aturan sekolah. Untuk destinasi apa? Karena dia percaya bahwa mengenakan kerudung semua wajah ialah ekspresi dari dedikasinya? Karena dia hendak meyakinkan bahwa ada kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berekspresi, atau sebab dia hendak menantang kurangnya kemerdekaan di lingkungan tertentu itu? Atau mungkin sebab tujuannya melulu untuk menciptakan orang menghargai kepercayaannya daripada menantang mereka?
Mari anda lihat sisi beda dari situasinya. Mengapa sekolah bersikeras supaya orang-orang mengindikasikan wajah mereka? Jika mereka cemas tentang ancaman keamanan, tentu solusinya ialah membiarkan orang untuk mengindikasikan wajah mereka, memberi mereka izin ketenteraman dan lantas memberi mereka akses ke daerah-daerah yang butuh mereka kunjungi? Apakah destinasi dari otoritas sekolah pun untuk menciptakan orang menghargai keyakinan mereka daripada menantang mereka?
Either way, sangat barangkali bahwa kedua belah pihak hendak mendapatkan jalan mereka dengan segala cara, dan pasti saja konflik tidak bakal terhindarkan.
Jika paling penting untuk pihak-pihak ini untuk mengawal identitas mereka sendiri, maka kedua pihak sama-sama bersalah dalam kondisi ini.
Sekolah Katolik memperbolehkan seorang anak Muslim masuk sekolah. Sekolah kemudian bercita-cita anak dan keluarganya sesuai dengan sekolah dan ketentuan dengan tidak banyak pertimbangan untuk perselisihan budaya yang tak terhindarkan, khususnya dengan family anak yang tidak butuh mematuhi aturan sekolah. Tentunya bakal jauh lebih masuk akal untuk otoritas sekolah untuk berpendapat bahwa perempuan itu ialah orang dewasa dengan hak untuk kemerdekaan berekspresi, dan bahwa masuk akal untuk menginginkan anak, namun bukan orang tua, guna mematuhi ketentuan sekolah. Nyonya kepala tampaknya pun bersikeras untuk merealisasikan aturan tidak terdapat kerudung semua wajah guna satu orang andai seandainya sebanyak wanita mengenakan kerudung semua wajah secara bersamaan mendarat di sekolah. Bicara tentang menciptakan gunung dari bukit mol!
Wanita Muslim tersebut mengirim anaknya ke sekolah Katolik. Sebagai seorang dewasa ia tentu tahu bahwa bakal ada potensi besar guna konflik kebiasaan dan agama dengan mengerjakan hal itu. Haruskah dia jauh lebih mau untuk berkompromi sampai-sampai dia akan menciptakan hidup lebih gampang untuk anaknya dan guna dirinya sendiri? Dia mempunyai pilihan guna mengenakan jilbab atau jilbab, namun memilih untuk membuat konflik.
Dari apa yang dapat saya kumpulkan mengenakan niqab sebagai lawan jilbab ialah masalah opsi pribadi. Tentunya tidak bakal meminta terlalu tidak sedikit untuk mengolah pilihan individu ini guna jangka masa-masa terbatas melulu untuk menyokong pilihan beda yang sudah ia buat, yakni mengirim anaknya ke sekolah yang mendukung kebiasaan yang bertolak belakang dan praktik keagamaan yang berbeda.
Tampak untuk saya bahwa kedua belah pihak bersikeras bahwa pihak beda tunduk pada kehendak mereka. Apakah mereka berdua hendak mencapai destinasi untuk mengindikasikan Cinta mereka untuk Allah dengan mengecualikan ekspresi beda dari Cinta ini? Apakah tersebut toleransi beragama? Apakah tersebut Cinta sesama manusia? Apakah tersebut akal sehat dan evaluasi yang baik?
Pandangan individu saya ialah bahwa masing-masing pikiran, kata dan perbuatan saya ialah ekspresi dari komunikasi saya dengan Tuhan. Untuk saya, iman tidak melulu diungkapkan dalam apa yang saya kenakan atau dalam peraturan produksi manusia yang saya pilih guna ikuti atau dalam teknik saya menguras sebagian dari hari Minggu. Iman saya diekspresikan dalam mimpi saya di malam hari dan di benak saya di siang hari. Iman saya diekspresikan dalam pakaian yang saya kenakan serta di tubuh telanjang saya, yang melulu mewakili wadah untuk jiwa saya.
Iman saya pun diekspresikan dalam meneliti tetapi tidak menilai bagaimana orang beda mengekspresikan iman mereka. Dalam urusan ini baik otoritas sekolah dan perempuan Muslim mempunyai pelajaran khusus guna belajar dari kejadian tersebut. Saya pun mempunyai pelajaran guna dipelajari dari kedua belah pihak, yakni bahwa teknik orang menilai satu sama beda tanpa Cinta biasanya jauh lebih keras daripada hukuman apa juga yang Tuhan ungkapkan.
Saya mengantarkan Cinta untuk kedua belah pihak dan bercita-cita mereka jelas dalam menuntaskan konflik ini.
Ada saat-saat saat saya merasa hendak menertawakan bertambahnya intoleransi agama di Inggris, namun ini terlampau serius guna ditertawakan. Jika Anda beranggapan bahwa tidak terdapat intoleransi agama di unsur dunia ini, baca saja korannya.
Insiden terbaru ialah tentang seorang perempuan Muslim yang tidak diperbolehkan menghadiri malam orang tua di sekolah Katolik putranya sebab dia mengenakan kerudung niqab wajah penuh.
Aturan sekolah mewajibkan penghapusan helm kecelakaan, hoodies dan kerudung semua wajah. Aturan mula diubah untuk merangkum kerudung semua wajah, sebab sekolah menyadari bahwa perempuan itu ialah orang tua dan mereka hendak mencegah insiden laksana ini sesudah insiden kesatu dua tahun kemudian dengan perempuan yang sama.
Wanita tersebut sadar bakal aturan yang diamandemen, namun tetap menyimpulkan untuk mengenakan cadar.
Siapa yang benar dan siapa yang salah di sini? Mari anda mundur selangkah dan mengajukan sekian banyak pertanyaan.
Apa yang ingin dijangkau wanita tersebut dengan mengenakan cadar ketika dia tahu sekolah bakal keberatan? Di permukaan dia melulu ingin mendiskusikan peradaban anaknya dengan semua guru, dan seharusnya tidak masalah bagaimana dia berpakaian saat ini ialah tujuannya.
Namun, pada ketika yang sama wanita tersebut mungkin hendak orang-orang menyimak kerudungnya dan memamerkan aturan sekolah. Untuk destinasi apa? Karena dia percaya bahwa mengenakan kerudung semua wajah ialah ekspresi dari dedikasinya? Karena dia hendak meyakinkan bahwa ada kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berekspresi, atau sebab dia hendak menantang kurangnya kemerdekaan di lingkungan tertentu itu? Atau mungkin sebab tujuannya melulu untuk menciptakan orang menghargai kepercayaannya daripada menantang mereka?
Mari anda lihat sisi beda dari situasinya. Mengapa sekolah bersikeras supaya orang-orang mengindikasikan wajah mereka? Jika mereka cemas tentang ancaman keamanan, tentu solusinya ialah membiarkan orang untuk mengindikasikan wajah mereka, memberi mereka izin ketenteraman dan lantas memberi mereka akses ke daerah-daerah yang butuh mereka kunjungi? Apakah destinasi dari otoritas sekolah pun untuk menciptakan orang menghargai keyakinan mereka daripada menantang mereka?
Either way, sangat barangkali bahwa kedua belah pihak hendak mendapatkan jalan mereka dengan segala cara, dan pasti saja konflik tidak bakal terhindarkan.
Jika paling penting untuk pihak-pihak ini untuk mengawal identitas mereka sendiri, maka kedua pihak sama-sama bersalah dalam kondisi ini.
Sekolah Katolik memperbolehkan seorang anak Muslim masuk sekolah. Sekolah kemudian bercita-cita anak dan keluarganya sesuai dengan sekolah dan ketentuan dengan tidak banyak pertimbangan untuk perselisihan budaya yang tak terhindarkan, khususnya dengan family anak yang tidak butuh mematuhi aturan sekolah. Tentunya bakal jauh lebih masuk akal untuk otoritas sekolah untuk berpendapat bahwa perempuan itu ialah orang dewasa dengan hak untuk kemerdekaan berekspresi, dan bahwa masuk akal untuk menginginkan anak, namun bukan orang tua, guna mematuhi ketentuan sekolah. Nyonya kepala tampaknya pun bersikeras untuk merealisasikan aturan tidak terdapat kerudung semua wajah guna satu orang andai seandainya sebanyak wanita mengenakan kerudung semua wajah secara bersamaan mendarat di sekolah. Bicara tentang menciptakan gunung dari bukit mol!
Wanita Muslim tersebut mengirim anaknya ke sekolah Katolik. Sebagai seorang dewasa ia tentu tahu bahwa bakal ada potensi besar guna konflik kebiasaan dan agama dengan mengerjakan hal itu. Haruskah dia jauh lebih mau untuk berkompromi sampai-sampai dia akan menciptakan hidup lebih gampang untuk anaknya dan guna dirinya sendiri? Dia mempunyai pilihan guna mengenakan jilbab atau jilbab, namun memilih untuk membuat konflik.
Dari apa yang dapat saya kumpulkan mengenakan niqab sebagai lawan jilbab ialah masalah opsi pribadi. Tentunya tidak bakal meminta terlalu tidak sedikit untuk mengolah pilihan individu ini guna jangka masa-masa terbatas melulu untuk menyokong pilihan beda yang sudah ia buat, yakni mengirim anaknya ke sekolah yang mendukung kebiasaan yang bertolak belakang dan praktik keagamaan yang berbeda.
Tampak untuk saya bahwa kedua belah pihak bersikeras bahwa pihak beda tunduk pada kehendak mereka. Apakah mereka berdua hendak mencapai destinasi untuk mengindikasikan Cinta mereka untuk Allah dengan mengecualikan ekspresi beda dari Cinta ini? Apakah tersebut toleransi beragama? Apakah tersebut Cinta sesama manusia? Apakah tersebut akal sehat dan evaluasi yang baik?
Pandangan individu saya ialah bahwa masing-masing pikiran, kata dan perbuatan saya ialah ekspresi dari komunikasi saya dengan Tuhan. Untuk saya, iman tidak melulu diungkapkan dalam apa yang saya kenakan atau dalam peraturan produksi manusia yang saya pilih guna ikuti atau dalam teknik saya menguras sebagian dari hari Minggu. Iman saya diekspresikan dalam mimpi saya di malam hari dan di benak saya di siang hari. Iman saya diekspresikan dalam pakaian yang saya kenakan serta di tubuh telanjang saya, yang melulu mewakili wadah untuk jiwa saya.
Iman saya pun diekspresikan dalam meneliti tetapi tidak menilai bagaimana orang beda mengekspresikan iman mereka. Dalam urusan ini baik otoritas sekolah dan perempuan Muslim mempunyai pelajaran khusus guna belajar dari kejadian tersebut. Saya pun mempunyai pelajaran guna dipelajari dari kedua belah pihak, yakni bahwa teknik orang menilai satu sama beda tanpa Cinta biasanya jauh lebih keras daripada hukuman apa juga yang Tuhan ungkapkan.
Saya mengantarkan Cinta untuk kedua belah pihak dan bercita-cita mereka jelas dalam menuntaskan konflik ini.
0 Komentar